Jakarta, Mantenhouse – Bagi couples yang akan menikah dengan adat tradisional jawa, pasti sudah tahu dong paes itu apa? Terdapat dua paes yang umum dikenal oleh masyarakat, yakni Paes Solo dan Paes Ageng (Paes Yogya).

Dalam Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang berisi pecahnya dinasti Mataram menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono) meminta Paes Ageng sebagai salah satu isi kesepakatan.

Paes Yogya atau yang diberi nama Paes Ageng memiliki motif yang berbeda dengan Paes Solo. Tentu saja, masing-masing paes memiliki kekhasan tersendiri dan bukan hanya itu, makna dari paes tersebut pun memiliki perbedaan.

Motif yang terlukis dalam Paes Ageng digambarkan sebagai lambang keagungan, sedangkan Paes Solo menyimbolkan kehidupan yang makmur dan sentosa (gemah ripah loh jinawi). Dari segi motif, Paes Ageng terlihat lebih lancip sedangkan Paes Solo dibentuk membulat. Untuk unsur-unsurnya sendiri, baik gajah-gajahanpengapitpenitis dan godheg-nya memang cenderung sama.

Perbedaan yang dapat terlihat dalam sisi busana, Paes Ageng dan Paes Solo sebenarnya sama-sama menggunakan dodot ageng. Namun jika pada Paes Ageng pakaiannya menggunakan motif tanaman yang baru bersemi, pada Paes Solo menggunakan corak tanaman hutan/ alas-alasan.

Pada awalnya, tata rias Paes Ageng Yogyakarta maupun Paes Solo hanya boleh dikenakan oleh kerabat raja. Namun di Yogyakarta, pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) di tahun 1940, masyarakat umum diperbolehkan menggunakan paes ageng.

Tahun 1940 inilah yang dianggap sebagai awal mulanya masyarakat luas diperkenankan menggunakan busana dan riasan paes, terutama pada acara pernikahan.

Sebelum mengaplikasikan paes, baik perias maupun calon pengantin perempuan diwajibkan untuk berpuasa. Hal ini diterapkan dengan tujuan membersihkan jiwa dan menguatkan batin, agar tidak terhindar dari malapetaka. Masyarakat Jawa meyakini bahwa juru rias yang bersih dan memiliki kekuatan batin, wajah pengantin yang diriasnya akan terlihat cantik dan bersinar.

Yang perlu diperhatikan dalam pengaplikasian tata rias dan busana paes, jangan sampai melanggar pakem-pakem yang sudah ditentukan. Karena hal ini dianggap melanggar budaya dan makna filosofi dari paes tersebut.

(lde/MHDC)

Add Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


25 + = 30