PROSESI PERNIKAHAN ADAT JAWA : Makna Dibalik Rangkaian Upacara Panggih Part I
Jakarta, Mantenhouse – Pernikahan memang syarat akan makna, terutama prosesi pernikahan adat tradisional. Bila kita tengok sebentar mengenai budaya pernikahan Jawa, pasti kamu sering mendengar istilah prosesi adat upacara “Panggih”. Upacara “Panggih” ini memang rumit dan panjang, namun tahukah kamu mengenai makna dibalik prosesi adat “Panggih” tersebut? Yuk simak ulasan berikut .
“Panggih” dalam bahasa jawa berarti bertemu, maksud bertemu disini adalah bertemunya dua pasang pengantin (pria dan wanita) di rumah wanita, untuk melaksanakan prosesi perkawinan secara adat. Upacara “Panggih” adalah upacara adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Dalam upacara ini banyak sekali simbolisasi dan sakralisasi dalam setiap prosesi upacaranya, yang kesemuanya bertujuan untuk kebaikan bersama kedua keluarga mempelai serta membentuk masa depan yang cerah bagi kedua mempelai.
Dalam melaksanakan upacara Panggih ini memerlukan alat-alat berupa, Iringan Gending Jawa Gending adalah lagu tradisional jawa yang biasanya dinyanyikan sendiri atau diiringi oleh gamelan (alat music tradisinal) atau semacamnya. Selain gending diperlukan beragam sesaji diantaranya gantalan, bokor, telur ayam, kacar-kucur , dan kain sindur.
Sebagaimana upacara-upacara pernikahan pada umumnya, upacara panggih juga memiliki beberapa rangkaian tahapan yaitu:
1. Penyerahan Sanggan atau tukar kembang mayang. Mempelai wanita sudah lebih dulu didudukkan di pelaminan bersama kedua orang tuanya. Kemudian mempelai pria menyerahkan Sanggan dan Cikal kepada ibu dan ayah mempelai wanita, serta menukar kembang mayang.
2. Balangan suruh atau disebut juga dengan lempar sirih / sawat gantal. Disini keduanya harus saling mendahului melempar gantal tersebut, pengantin wanita mengarahkan ke kaki pria sebagai lambang tunduk kepada sang suami, sementara pengantin pria mengarahkan ke arah jantung pengantin puteri sebagai lambang kasih sayang. Mereka berusaha saling melempar terlebih dahulu, maksudnya adalah bahwa diantara mereka saling berlomba memberika jiwa-raga mereka, atau saling berlomba mendapatkan kemuliaan/keutamaan.
3. Ngindak tigan, Wiji Dadi” (injak telor jadi bibit). Pengantin pria berdiri dengan kaki diposisikan menginjak telor yang ditaruh di atas baki (nampan), sementara pengantin wanita jongkok di depannya. Upacara ini memiliki banyak makna, diantaranya: sebagai lambang peralihan masa lajang kedua pengantin yang akan memasuki kehidupan baru yang berat dan penuh tantangan dan juga sebagai simbol pemecahan selaput dara pengantin puteri oleh pengantin pria.
4. Sinduran atau Wijik Sekar Setaman. Pada tahap ini sepasang pengantin kemudian saling berdampingan, pengantin putri di sebelah kiri dan pria sebelah kanan. Ibu pengantin putri mengenakan dan memegangi sindur dari belakang, sementara ayahnya berada di depan pengantin berjalan di depan pengantin pelan-pelan. Dengan mengalungkan kain sindur di pundak kedua mempelai, adalah sebagai simbol menyatukan keduanya menjadi satu. Pasangan di tuntun menuju kursi pelaminan dengan harapan keduanya pantang menyerah dan siap menghadapi tantangan hidup.
Setelah kedua mempelai sampai di pelaminan, masih ada rangkaian prosesi upacara panggih selanjutnya disini https://gebyarpernikahanindonesia.com/3788/prosesi-pernikahan-adat-jawa-makna-dibalik-rangkaian-upacara-panggih-part-ii/ (akan diposting tanggal 26 November 2014)
(achy/MHDC)
Photo courtessy of AA Photography
Udah bagus banget, itu termasuk melestarikan budaya jawa, tinggalan Karaton