Profile: Ibu Tien Santoso
Perias Pengantin Tien Santoso: Paling Hakiki Adalah Kecantikan Batin
AGI sebagian masyarakat kita, upacara adat tampak kuno atau merepotkan. Di zaman yang serba praktis dan serba instan ini, upacara adat mulai ditinggalkan. Padahal, di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur.
“Mereka beranggapan tata rias pengantin adat itu kuno, berat, dan seterusnya. Nah, kalau ada cara pandang seperti itu, bukankah nanti dandanan tamu undangan bisa sama dengan si pengantin? Hanya karena ingin praktis, masak penampilan pengantin nggak beda sama tamu?” kata Dra Hj Tien Santoso, perias pengantin dan juga pemerhati upacara adat Jawa, yang selama ini dikenal sebagai perias pengantin putri tokoh- tokoh terkenal dan artis-artis ternama.
Tapi, kata Tien, itulah tantangan zaman. Selain generasi yang lebih tua menularkan ilmunya, seharusnya media massa, terutama televisi, juga ikut memberikan sumbangan. Ia sangat menyayangkan televisi sekarang lebih banyak menayangkan sinetron, klenik, kejahatan, infotainment.
“Adakah televisi yang mau menayangkan acara budaya komplet, misalnya menceritakan ritual orang Lampung, Jawa, Batam? Tak mengherankan, ketika ada acara tingkeban di rumah Mayangsari (penyanyi, Red), banyak yang menanyakan mengapa harus ada upacara tujuh bulanan? Sedih kan?” tuturnya.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti itu harus dipikirkan. Ia mencontohkan, buku-buku mengenai perhiasan Indonesia kenyataannya dibuat oleh Malaysia atau Singapura. “Padahal, yang pertama bikin buku seperti itu JE Jesper orang Belanda dan Mas Pirngadi, keluaran 1927, dalam Bahasa Belanda. Jangan sakit hati bordiran yang mengeluarkan juga mereka. Gemas kan?” katanya.
Karena itu ia berterima kasih kepada Universitas Negeri Jakarta yang membuka program khusus tata rias, sehingga para pakar bisa mengajar di sana. Di samping itu, Himpunan Ahli Perias Pengantin Indonesia juga sedang menggalakkan dan memperkuat organisasi ke dalam atau keluar, dengan giat mengajarkan dan menularkan ilmu.
Berikut petikan wawancaranya dengan Pembaruan, penggal awal Maret lalu.
Budaya rias pengantin tentu tak hanya melulu soal wajah, tapi ada juga tata cara adat yang tidak semua generasi muda sekarang mengetahuinya. Sejauh mana upacara adat berpengaruh pada kehidupan kita?
Di Jawa, saat bayi masih dalam perut sudah sarat dengan doa baik dari orangtua si bayi maupun orang di sekitarnya. Seperti saat usia kehamilan tujuh bulan, di mana bayi dalam kandungan sudah lengkap secara kedokteran, tentu orangtua punya pengharapan agar yang lahir nanti sesuai harapan yang dicita-citakan orangtua.
Saat kelahiran pun ada upacara brokohan. Habis itu acara selapanan atau 35 hari. Kemudian tedhak siten atau tujuh bulan, pada umur itu bayi dianggap sudah siap melangkahkan kaki atau berpijak ke tanah. Ada upacara seperti itu karena diharapkan anak itu tak akan salah langkah pada kehidupannya. Nah, pada saat kaki si kecil menapak ke tanah ada doa yang dipanjatkan kepada Tuhan sesuai agama masing-masing. Demikian selanjutnya, terus-menerus tidak ada putusnya doa dan doa.
Selanjutnya tiap weton atau hari kelahirannya, berarti setiap bulan, ada puasa. Sebelum anak mengerti soal puasa, orangtuanya yang berpuasa. Ini semua adalah bagaimana cinta dan perhatian orangtua kepada anak dan hubungan antara manusia dan Allah yang disembahnya.
Jadi, kita patut berterima kasih kepada orangtua zaman dulu yang memberikan budaya agar kita tidak melupakan jati diri kita sebagai manusia. Bahwa kita adalah berasal dari Tuhan.
Pada saat upacara-upacara itu kan mengundang kerabat atau tetangga, sehingga tak ada habisnya silaturahmi antarsesama. Masing-masing saling mendoakan. Indah bukan?
Sepengetahuan Anda, apakah masih banyak orang yang memahami dan menjalankan upacara-upacara adat seperti itu terutama di kota besar?
Masih banyak. Bahkan mereka yang mendalami agama sekalipun masih melakukan upacara-upacara semacam itu, karena memang itu budaya yang diturunkan orangtua kita dan kita maknai itu baik.
Yang sekarang sudah mulai ditinggalkan adalah upacara bucalan, artinya sesuatu yang dibuang. Bucalan itu upaya memberikan sesuatu untuk “penunggu” di tempat-tempat tertentu tadi. Sementara kita memercayai bahwa yang nungguin semua tempat di bumi ini adalah Tuhan. Misalnya, saya mau bikin pesta di TMII supaya besok saat menuju ke sana tak ada aral-melintang, maka di setiap perempatan menuju tempat itu diadakan bucalan.
Kebetulan saya 32 tahun menekuni rias pengantin dan tata cara adat. Awalnya tidak semua sudut rumah diberi bucalan, lama-kelamaan ditinggalkan, karena memang artinya dianggap tidak sesuai dengan nilai agama. Jadi memang sudah ada pergeseran.
Rias pengantin tak jauh dari soal kecantikan dan penampilan. Apa sih cantik menurut Anda?
Yang paling hakiki adalah kecantikan batin. Untuk apa cantik wajah yang dilihat orang hanya sekilas tapi mempunyai sifat buruk, katakan tak mengerti sopan santun. Kalau bisa cantik di wajah itu dibarengi batin.
Belakangan ramai dibicarakan mengenai RUU Antipornografi dan Pornoaksi dan juga ada Perda Antipelacuran di Tangerang yang tak jauh dari soal penampilan. Pendapat Anda tentang dua hal itu?
Dari dulu saya memang tidak mau sesuatu yang berlebihan. Harus dipahami, kultur kita adalah Indonesia. Kalau kita jalan ke Eropa, orang cuek dengan penampilan perempuan yang dadanya terbuka. Demikian kalau kita ke Pantai Kuta, Bali. Nah, kalau di Jakarta, masyarakat kita sangat beragam. Karena itu kita harus mengerti umpan lan papan. Kalau mau pergi ke mal ya pakai baju santai, tapi kalau ke kolam renang jangan pakai baju ke mal, nanti yang punya kolam bingung.
Hal seperti ini seharusnya bisa dirancang sebaik-baiknya bukan hanya melibatkan agamawan, pendidik, orangtua, dan lainnya tapi juga tanya generasi mudanya. Yang membuat peraturan harusnya menampung aspirasi masyarakat. Misalnya, koran-koran atau media massa bikin kuesioner, tanyakan kepada masyarakat seperti apa pornografi. Jadi jangan menurut kata kita (pembuat peraturan, Red) karena peraturan itu kan buat masyarakat.
Anda tengah menyusun buku?
Awalnya ingin mengangkat tata rias pengantin dari 27 provinsi, ternyata provinsinya bertambah. Dengan berjalannya waktu, banyak buku saya peroleh. Akhirnya saya mampu menuliskan sejarah tata rias yang pernah ada di Indonesia. Ternyata sekarang ada lebih dari 200 gaya. Belum lama saya ke Bridal Summit di Korea, mereka hanya punya sedikit.
Gaya Lampung, misalnya, tak hanya satu macam gaya. Ada Lampung Abung, Papadung, Waikanan, Melinting, dan Tulang Bawang. Yang jarang terdengar juga terbongkar, misalnya Malang Keparabon, Keputren, Bojonegoro, Banyumasan, Surabayan. Pakaian, dandanan serta tata caranya beda. Keragaman kita sebenarnya luar biasa. Sayang kalau itu kemudian dijadikan untuk gontok- gontokan.
Selain sebagai dosen dan tengah menyusun buku, ada kegiatan lain yang bertujuan membagi ilmu?
Saya keliling Indonesia melalui seminar-seminar tata rias membagikan ilmu metode paes proporsional. Sebenarnya semua model nggak ada yang salah.
Anda menggagas program khusus tata rias di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), apa latar belakangnya?
Saya masih mengajar program studi tata rias, jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik di UNJ. Mengapa tata rias masuk Fakultas Teknik, karena semua yang dipelajari harus bisa diukur. Di sana juga ada fisika dan kimia. Ada pengetahuan anatomi, bedah plastik, dan matematika serta stati
stik.
Awalnya saya mengajar di Lembaga Pendidikan Wanita Indonesia di bawah Ikatan Sarjana Wanita Indonesia pada 1976. Tahun 1984 namanya menjadi Akademi Seni Rupa dan Desain Indonesia. Saya juga mengajar di IKIP Rawamangun yang pada 1990 berubah namanya menjadi Universitas Negeri Jakarta.
Setelah menjadi UNJ saya melihat banyak sekali orang yang sudah sukses di lapangan yang mempunyai kesempatan memperoleh master, doktor atau profesor. Sayang, mereka ini hanya punya sertifikat kursus dari Depdikbud atau Pendidikan Luar Sekolah. Ada yang ijazah kursusnya itu kalau dipajang bisa dari ujung sampai ke ujung.
Belum lagi ijazah dari luar negeri. Kenapa kita tidak buat sertifikasi kemudian kita akreditasi, buatkan portofolionya, sehingga bisa disimpulkan tinggal mengambil sekian SKS untuk tingkat sarjana.
Hal yang saya harapkan ini baru terealisasi pada 2002 yakni S-1 program khusus tata rias. Mereka yang sudah punya gelar S-1 ini dengan didukung pengalaman di lapangan, diharapkan akan menjadi pengajar. Siapa lagi yang akan menata atau melanjutkan ini semua kalau bukan mereka? Saya sudah tua suatu saat harus ada regenerasi. Dibutuhkan praktisi lapangan yang qualified sehingga lulusan di bidang tata rias juga lebih baik.
Sekarang alhamdulillah, di program tata rias sudah diajar orang-orang yang qualified di bidangnya. Make up yang ngajar Andianto spesialis make up, peralatan listrik untuk kecantikan oleh Ibu Endang Sugiarto, spa ada Ibu Kusuma Dewi, dan seterusnya.
PEWAWANCARA: DWI ARGO SANTOSA
Disadur dari: www.suarapembaruan.com
Tentang Tien Santoso
|
Dra. Hj. Lestari Rahayu Sri Suhartiningsih Sudibyo Putri MPd, atau lebih kita kenal sebagai Tien Santoso, lahir di Madiun 11 November 1950. Sejak usia belia, Tien Santoso sudah mulai merias pengantin. Selanjutnya, Tien belajar kemana-mana untuk mematangkan teknik dan ilmu tata riasnya dengan mengikuti kursus-kursus tata rias wajah, rambut, tata rias pengantin, hingga pembuatan kosmetik. Tien merasa bidang tata rias sangat erat dalam jiwanya. Hingga kini, 36 tahun sudah Tien telah mengabdikan dirinya menjadi bagian dari warisan budaya dengan menjadi penata rias pengantin tradisional.
Pada tahun 1977 Tien mendirikan Sanggar Busana Indonesia (SBI) bertempat di Jl. Guntur No. 18, dimana Tien menyimpan seluruh koleksi busana dan perlengkapan pengantinnya. Mulai dari busana Pengantin, pagar ayu dan bagus, hingga perlengkapan adapt pernikahan yang jumlahnya sudah ratusan, bahkan ribuan, tersimpan dengan sangat baik di SBI. Sebagai perias pengantin, Tien dipercaya untuk menangani diantaranya pernikahan putra Presiden pertama RI, Bayu Soekarnoputra, putri proklamator, Halida Hatta, hingga Alissa Abdurrahman Wahid, juga putra mantan Wapres Try Sutrisno, putri mantan Menlu Ali Alatas hingga keluarga orang kenamaan Sudwikatmono. Begitu juga puluhan pasangan artis dari Vina Panduwinata, Onky-Paula, Maudy Koesnadi, Memes, hingga Kristina. Di usia 58 tahun ini selain sibuk merias pengantin, adalah dosen di Jurusan Tata Rias Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tien pun cukup aktif di berbagai organisasi seperti Asosiasi Spa Indonesia (ASPI), Tiara Kusuma, Organisasi Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia. Tien juga kerap diundang ke berbagai seminar untuk memperkenalkan metode paes proporsional khas Tien Santoso, dimana visualisasi wajah secara morfologis harus seimbang. Yaitu mengutamakan bagaimana membuat wajah itu terlihat ideal, baru kemudian dibentuk dan dirias. Penghargaan yang pernah didapat Tien antara lain Anugrah Piagam Bhakti Budaya, Dharma Budaya, Kridha Budaya, Pakarti Budaya, dan Bintang Mas ke-3 dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawi Surakarta, Kartini Award 2004 dari Iwapi, dan Satya Lencana dari Presiden RI pada 2004. |
Sumber: www.tiensantoso.com