Jakarta, Mantenhouse.com –  Perkawinan merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Ya, hal tersebut merupakan anggapan masyarakat di Suku Baduy. Sebuah suku tepencil di yang terletak di kaki pegunungan Kendeng desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Rangkasbitung, Banten ini memiliki kebudayaan pernikahan tersendiri yang cukup unik.

Tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat. Calon pun dipilihkan oleh pihak orang tua, lalu kedua belah pihak bertemu dan saling bersilaturahmi, tahap pengenalan jodoh ini dinamakan bobogohan yang merupakan tahapan penting menuju pernikahan. Suasana acara bobogohan ini biasanya ditemani denan lantunan alat musik kecapi yang dibawa pihak laki-laki. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup, artinya bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia. Setelah adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk menikah, maka dilaksanakanlah tahapan lamaran.

Ada 3 tahapan lamaran yang harus dilakukan oleh calon mempelai pria. Yang pertama mempelai pria beserta keluarga harus melapor ke Jaro (Kepala kampung) dengan membawa daun sirih, pinang, dan gambir secukupnya. Selanjutnya sirih, pinang, dan gambir dibawa ke rumah wanita yang akan dilamar dilengkapi dengan membawa cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawin, dan ketiga membawa alat rumah tangga dan baju untuk calon mempelai wanita.

Setelah semua proses dilalui maka diadakanlah upara pernikahan yang hanya boleh diadakan pada bulan kalima, kanem, katujuh. Penanggalan ini berdasarkan pukikuh, aturan aturan yang sudah digariskan oleh leluhur. Pada prosesi pernikahan mempelai akan mengucapkan kalimat syahadat (seperti ijab kabul), disaksikan oleh Naib sebagai penghulunya. Menurut informasi yang kami dapatkan pencatatan pernikahan oleh KUA tidak berlaku di Baduy, terbentur oleh kepercayaan yang mereka yakini.

Dibalik kekolotan dan keterasingan suku yang tidak mau menerima pengaruh moderinasi dari luar ini ternyata ada sebuah kearifan didalamnya. Kearaifan itu adalah adanya pelarangan adat Baduy yang melarang masyarakat Baduy untuk melakukan poligami. Praktek poligami bagi masyarakat Baduy justru akan membuat terpecahnya keutuhan masyarakat Baduy itu sendiri. Bagi warga Baduy Dalam, pernikahan adalah sekali untuk seumur hidup. Mereka tidak mengenal perceraian. Perceraian hanya terjadi jika salah satu meninggal, maka pasangan yang ditinggalkan dapat menikah lagi. Proses yang harus ditempuh sebelum pernikahan adalah upaya untuk mendapatkan pendamping yang tepat demi kelanggengan pernikahan.

(achy/MHDC)

Photo by Cuplis Supriyadi

Add Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


94 − = 93