Sumber: SuaraPembaruan.Com

Di Indonesia, kegiatan di dapur lebih banyak menjadi tanggung jawab perempuan. Namun, mengapa sejauh ini profesi juru masak profesional malah dikuasai oleh kaum adam? Rupanya, menurut sebagian besar juru masak atau chef, selain alat-alat memasak di dapur restoran cukup berat, intensitas tekanan dalam bekerja juga memengaruhi, mengapa profesi sebagai chef masih didominasi oleh para pria.

“Memang sih, di Indonesia kalau urusan dapur seolah menjadi teritori perempuan. Tapi, kalau di negara-negara maju kan tidak begitu. Emansipasi benar-benar berjalan. Nah, karena itu, laki-laki juga dituntut bisa memasak,” ujar Executive Chef Hotel Bidakara Jakarta, Buyung Radiansyah.

Pria yang sudah 18 tahun malang melintang sebagai koki ini menambahkan, umumnya para perempuan yang berkecimpung di profesi tersebut lebih memilih spesialisasi pastry.

“Kalau chef perempuan yang di kitchen, umumnya pembawaan mereka malah jadi maskulin. Mungkin pengaruh harus memimpin tim juga kan, harus tegas dan fit terus,” tambahnya.

Lantas bagaimana akhirnya pria yang pernah memenangi gelar juara sebanyak sepuluh kali, dalam sebuah program lomba memasak di stasiun televisi swasta ini akhirnya menekuni dunia kuliner? Chef Buyung mengatakan, kecintaannya pada dunia memasak telah dirasakannya sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Karena itu, dia memutuskan untuk mengambil kuliah perhotelan bidang memasak di Bali, dengan spesialisasi makanan Asia.

Lalu, apakah lantas kegiatan di dapur rumahnya juga menjadi tanggung jawabnya?

“Oh, kalau di rumah, saya enggak mau masak lagi, soalnya itu kan sudah bukan menjadi profesi saya,” jawabnya sambil tertawa.

Dia bercerita ketika akhirnya terjun ke profesi koki dan sudah berpindah kerja di sejumlah hotel besar di Indonesia, suatu ketika muncul ambisi untuk bekerja di luar negeri. Jam terbang yang cukup, berbagai penghargaan sudah di genggaman, ditambah koneksi yang baik, akhirnya kesempatan bekerja keluar dari Indonesia pun diterimanya. Namun, ternyata jalan tidak semulus yang dibayangkannya, sebab sang istri dan anak-anaknya tidak berkenan untuk pindah. Selain karena sang istri masih terikat kerja di Jakarta, bayangan akan sulitnya bagi anak-anaknya untuk menyesuaikan diri juga menjadi faktor penghambat.

Maka, pria berdarah Melayu Deli ini memutuskan untuk hijrah sendiri. Mulai dari negara Brunei Darussalam, Dubai, hingga Tajikistan pun dijejakkannya.

“Awalnya memang berat. Terutama penyesuaian kultur, baik bahasa maupun perilaku. Apalagi, bahasa Inggris saya tidak terlalu lancar. Tapi alhamdulillah, semuanya lancar-lancar saja,” imbuhnya.

Jika demikian, lalu apa yang membuatnya akhirnya kembali ke Tanah Air? Alasan keluarga rupanya menjadi pertimbangan terbesar. Lagi pula, ternyata kalau dihitung, pendapatannya tidak jauh berbeda dengan bekerja di Indonesia.

Tapi kali ini sedikit berbeda, dipercaya sebagai Executive Chef untuk Hotel Bidakara, Chef Buyung dituntut untuk mengonsep kembali restoran di sana, karena alasan tertentu. “Ah, tidak terlalu sulit kok. Timnya sudah oke, konsep juga baik, tinggal dipoles saja,” komentarnya.

Kafe

Karena itu, Chef Buyung akan membuat Restoran Mawar di Hotel Bidakara lebih seperti kafe, yang menunya lebih internasional. Menurutnya, keputusan ini diambilnya dengan alasan lokasi hotel tersebut yang dekat dengan perkantoran dan melihat kategori pelanggan yang sering datang. “Mereka yang datang mayoritas pegawai, pasti butuh yang cepat. Sementara kalau restoran umumnya ada fine dining. Jadi saya konsep kafe saja, menunya internasional yang simpel,” katanya.

Tetapi simpel di sini bukan berarti murahan. Baginya, memasak bukan perkara sederhana. Baik itu memasak untuk orang biasa maupun presiden sekalipun, semua harus yang terbaik.

Mengapa sampai menyebut presiden, rupanya Chef Buyung pernah memiliki pengalaman tentang hal ini. Pernah suatu kali dipercaya sebagai tim koki untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika kunjungan ke Filipina, dia benar-benar diuji ketangkasannya.

Pasalnya, ketika sudah kelar menyiapkan sajian yang akan dihidangkan, ternyata sang Presiden baru saja memeriksakan giginya. Oleh dokter, beliau dilarang mengonsumsi makanan yang keras. Maka, Chef Buyung pun memeras otak, sebab ada tim pemerhati higienis di sana.

“Memang benar makanan harus higienis. Tapi kan saat itu kita terburu-buru, sedangkan kalau harus mengikuti rentetan syarat higienitas, ya hidangannya baru selesai dua hari lagi,” ujarnya berkelakar.

Lain lagi ketika harus memasak untuk 1.000 supir sewaktu dia bekerja di Dubai, atau memasak untuk ribuan umat Muslim di Brunei saat bulan Ramadan. Dia dtuntut untuk sanggup menyelesaikan menu yang luar biasa banyaknya. Namun, kualitas rasa yang disajikan juga tidak lantas diabaikan, sebab Chef Buyung dipekerjakan oleh sang Sultan.

“Memasak apa pun syaratnya sama. Mau untuk orang biasa atau presiden, saya akan menyajikan yang istimewa dari kecintaan terhadap profesi saya,” tegasnya. [DDS/N-5]

Add Comment

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


27 + = 33